Ditulis oleh: Ustadz Abu Ahmad Said Yai, MA
Tidak bisa dipungkiri Islam “lahir” lebih dari 14 abad yang lalu. Selang waktu yang sangat lama ini sangat memungkinkan untuk terjadi kesesatan di dalam “tubuh” Islam. Jangankan 14 abad, dalam waktu yang sangat singkat saja, suatu kaum bisa menjadi sesat, sebagaimana terjadi pada Bani Israil ketika ditinggalkan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam selama 40 hari. Yang tadinya mereka hanya menyembah kepada Allah, akhirnya mereka menyembah kepada berhala.
Begitu pula dengan jarak yang sangat jauh dengan pusat penyebaran Islam di zaman dahulu, seperti: Madinah, Mekkah, Baghdad, Mesir dll. Untuk bisa mencapai negeri Indonesia, para penyebar Islam harus menempuh pelayaran dan perjalanan yang sangat lama. Ini juga mendukung terjadinya kesesatan.
Berdasarkan catatan sejarah, di awal-awal masuknya Islam ke Indonesia, Islam banyak disebarkan oleh para pedagang Islam yang berinteraksi dengan masyarakat pribumi. Mereka tidak terkenal sebagai ulama yang benar-benar menguasai ilmu Islam secara mendalam sebagaimana ulama-ulama yang berada di pusat penyebaran Islam di zaman dahulu. Seandainya benar mereka adalah ulama-ulama yang memiliki ilmu yang sangat dalam, tentunya kita akan mendapatkan peninggalan-peninggalan ilmiah mereka, baik berupa: tulisan tangan, riwayat perkataan mereka atau kemasyhuran mereka di dunia Islam. Tetapi ternyata kita tidak menemukannya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Islam di Indonesia dulunya diajarkan oleh orang-orang yang belum mencapai derajat ulama yang mendalam ilmunya. Jika demikian, maka Islam bisa ternoda dengan ketidakberilmuan mereka. Ini juga sangat mendukung terjadinya kesesatan di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui juga, agama yang banyak menyebar di Indonesia sebelum masuknya agama Islam adalah agama Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme dan Atheis. Disadari atau tidak, ini juga tidak menutup kemungkinan untuk terjadi percampuran agama Islam dengan agama-agama tersebut. Belum lagi dengan budaya yang beraneka ragam yang sekarang sangat tampak pengaruhnya terhadap pemeluk-pemeluk Islam di Indonesia. Ini juga bisa mendukung terjadinya kesesatan.
Dengan membaca apa yang telah penulis paparkan di atas, maka Indonesia bisa menjadi “lahan” subur untuk menyebarnya berbagai kesesatan. Oleh karena itu, dalam berislam kita harus benar-benar memperhatikan apakah Islam yang kita jalani pada saat ini adalah Islam yang benar dan jauh dari kesesatan ataukah tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan di dalam hadits Abu Hurairah:
« افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً/كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً))..
Artinya: “Umat Yahudi terpecah-belah menjadi 71 atau 72 kelompok. Umat Kristen juga terpecah belah menjadi 71 atau 72 kelompok. Sedangkan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 kelompok[1]. Seluruhnya di neraka kecuali satu kelompok.[2]
Hadits di atas dengan jelas mengabarkan bahwa kaum muslimin akan berpecah-belah dan hanya ada satu kelompok yang selamat. Ini harus kita imani, karena Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-lah yang mengatakannya.
Hadits di atas juga mengabarkan bahwa ketujuh puluh kelompok tersebut masih digolongkan sebagai umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beragama Islam, sehingga meskipun mereka terjatuh kepada kesesatan, mereka di akhirat nanti masih berada di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak untuk mengazab mereka maka Allah akan mengazab mereka, jika tidak maka Allah tidak akan mengazab mereka. Akan tetapi, kesemuanya pada akhirnya akan masuk surga.
Penulis perlu mengingatkan bahwa ada kelompok-kelompok di dalam Islam yang menisbatkan diri mereka kepada Islam, tetapi kelompok-kelompok tersebut sebenarnya bukanlah termasuk umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti: Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal (JIL), beberapa tarikat Shufiyah dan Syi’ah/Rafidhah yang melampaui batas dll. Kelompok-kelompok tersebut tidak termasuk ketujuh puluh kelompok yang disebutkan di dalam hadits di atas.
Siapakah satu kelompok yang disebutkan di dalam hadits tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita tidak boleh mengaku-ngaku berada dalam kebenaran kecuali memang ada dalilnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seharusnya kita selalu merasa was-was atau ragu apakah Islam yang kita jalani pada saat ini sudah benar ataukah belum. Dengan demikian kita akan bersemangat untuk mencari kebenaran tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka pada kelanjutan hadits di atas:
(( فَقِيلَ لَهُ : مَا الْوَاحِدَةُ ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي))
Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ditanya, “Siapakah satu kelompok itu, Ya Rasulullah?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Apa yang sesuai dengan yang saya dan para sahabatku berada di atasnya pada hari ini.”
Dengan demikian, Islam yang paling benar adalah Islam yang sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada penambahan dan pengurangan di dalamnya dan juga Islam yang dijelaskan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka langsung menerima ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekarang ini banyak orang mengatakan bahwa kelompoknya adalah kelompok yang paling benar, karena kelompoknya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, mengapa masih terjadi perpecahan di antara mereka sehinga yang satu kelompok mengkafirkan yang lain dan yang lainnya mengatakan sesat kelompok yang lain?
Ini semua terjadi karena mereka memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya dengan akal-akal mereka atau mencukupkan diri dengan bahasa Arab yang mereka kuasai. Sehingga mereka tidak tahu apakah mereka telah terjatuh kepada kesesatan ataukah tidak.
Saudara pembaca yang mudah-mudahan Allah merahmati kita semua, Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah ditafsirkan atau dijelaskan dengan akal-akal manusia, maka akan terjadilah keberagaman pemahaman, karena setiap orang sangat berbeda tingkat pemahamannya dengan yang lain. Jika terus berlangsung demikian, maka Islam di setiap zaman akan berbeda-beda dan akan menjadi agama baru yang berbeda dengan Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu, kita harus mengikuti pemahaman siapa? Jawabannya adalah kita harus mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik.
Apakah mereka masih ada pada zaman sekarang ini? Ya, orang-orang yang mengikuti pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik masih ada pada zaman sekarang ini sampai hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ )).
Artinya : ”Senantiasa ada sekelompok orang di kalangan umatku yang selalu tampak dengan kebenarannya. Orang yang tidak mengacuhkan mereka tidak dapat memberikan mudarat kepada mereka sampai datang perkara Allah dan mereka tetap dengan kebenarannya.”[3]
Mengapa kita harus mengikuti pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik? Setidaknya ada empat alasan mengapa kita harus mengikuti pemahaman mereka, yaitu:
Allah subhanahu wa ta’ala telah me-ridha-i mereka di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya:
{رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ}
Artinya: “Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun telah ridha kepada Allah.” (QS Al-Bayyinah : 8)
Mereka adalah umat terbaik di hadapan Allah
(( خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ))
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang hidup setelah zamanku, kemudian yang hidup setelahnya.” [4]
Allah mengancam orang-orang yang menyelisihi mereka di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (115)
Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An-Nisa’ : 115)
“Jalan orang-orang mukmin”, siapakah mereka? Tidak lain, mereka adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah di dalam Al-Qur’an telah memuji mereka dan menyediakan untuk mereka surga
{ وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (100) }
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah me-ridha-i mereka dan mereka pun telah ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah : 100)
Pada ayat di atas Allah menyebutkan keutamaan kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah telah me-ridha-i mereka dan menyediakan surga untuk mereka kelak. Oleh karena itu, kita harus bisa mengikuti jejak mereka agar bisa menjadi seperti orang-orang yang disebutkan setelah kaum Muhajirin dan Anshar dan mendapatkan keutamaan berupa ke-ridha-an Allah dan surga.
Bagaimana agar kita bisa benar-benar yakin bahwa Islam yang kita jalani adalah Islam yang sesuai dengan pemahaman mereka? Agar kita bisa yakin, maka kita harus benar-benar mempelajari Islam ini dan menghidupkan keilmiahan dalam beragama. Kita tidak menerima, mengamalkan dan berkeyakinan kecuali benar-benar memiliki dalil dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebar di dunia Islam pun harus diseleksi lagi, karena hadits tersebut bermacam-macam; Ada hadits shahih dan hasan (kedua hadits inilah yang bisa menjadi hujjah/dalil); dan ada juga hadits dha’if/lemah dan maudhu’/palsu (kedua hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah).
Tidak cukup dengan itu, kita harus meneliti lagi apakah pemahaman kita akan tafsir Al-Qur’an dan hadits tersebut sudah sesuai dengan pemahaman orang-orang Islam yang terdahulu (kaum salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik) dengan membaca nukilan-nukilan perkataan mereka di kitab-kitab para ulama yang terpercaya keilmuannya.
Di dalam urusan dunia saja kita harus ilmiah dalam menerima segala sesuatu, contohnya:
Dalam bidang kedokteran, para dokter tidak bisa menerima suatu cara pengobatan kecuali dengan adanya penelitian dan bukti ilmiah. Begitu pula dalam bidang teknologi, para ilmuan tidak bisa mengatakan bahwa sesuatu penemuan tersebut adalah ilmu pengetahuan kecuali bisa dibuktikan dan dijelaskan dengan teori-teori ilmiah.
Apalagi dalam beragama, maka kita juga harus menghidupkan keilmiahan dalam beragama, sehingga kita nantinya tidak salah dalam memahami agama ini dan tidak tersesat.
Kita juga seharusnya jangan terlalu fanatik dengan madzhab fiqh tertentu, seperti: madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali (Ahmad), madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Imam-imam madzhab tersebut tidaklah ma’shum (terjaga dari dosa), sehingga memungkinkan bagi mereka terjatuh kepada kesalahan-kesalahan.
Tidaklah ada pada suatu madzhab fiqh tersebut kecuali di dalamnya ada kebenaran dan kesalahan. Apa-apa yang benar dan sesuai dengan dalil, maka kita ikuti. Dan apa-apa yang salah atau menyelisihi dalil maka kita harus tolak. Kebenaran yang muthlaq tidak ada terdapat pada suatu madzhab tertentu.
Dengan demikian, Sudah benarkah cara berislam Anda? Jika belum benar, maka marilah kita sama-sama memperbaikinya, berlapang dada menerima kebenaran dan tidak sombong.
Akhirul-kalam, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk bisa menyebarkan kebaikan yang terdapat pada tulisan ini dengan menyampaikannya kepada orang-orang di sekitar pembaca, keluarga dan kaum muslimin. Mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.
Keterangan:
[1] Sampai di sini HR Abu Dawud no. 4596, At-Tirmidzi no. 2640 dan Ibnu Majah no. 3991 (Hadits ini di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani).
[2] HR Al-Marwazi di As-Sunnah no. 59 dan Al-Hakim di Al-Mustadrak no. 444. Hadits ini memiliki syahid dari Anas bin Malik, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Aushath no. 4886.
[3] HR Muslim no. 5059
[4] HR Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 6635